-->

Perpajakan 2020; Kontribusi dan permasalahanya

08 Januari 2020, 11:38:00 PM WIB Last Updated 2020-01-08T16:38:28Z

            
    Pajak sangatlah  menarik untuk di ulas dari waktu ke waktu. Dalam pesta demokrasi  beberapa waktu lalu , ruang publik juga banyak dihiasi isu pajak. Terutama ide penurunan tarif pajak  dan mengelolaan serta mafaatnya.  Daya pikat pajak sangat menarik  ketika beberapa kontestan menawarkan penghapusan beberapa jenis pajak. Lantas, bagaimana menyikapi hal  tersebut?
               Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebanyak Rp 1.861,8 triliun di akhir tahun 2020. Angka ini lebih tinggi daripada outlook penerimaan pajak 2019 sebesar Rp 1.643,1triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetken tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,3%. Laju pertumbuhan ekonomi tentunya memengaruhi penerimaan pajak di tahun depan. Target pertumbuhan ekonomi yang terbilang stagnan itu pula menjadi tantangan penerimaan perpajakan. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengatakan tantangan terbesar dalam penerimaan negara 2020 adalah PPN dan PPh non Migas. Dalam skema Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020, PPh ditargetkan naik 13,3% sedangkan PPN tumbuh 15,7%. Fakta itu terjadi tidak terlepas dari beberapa faktor. Pertama, tahun ini terjadi tren penurunan harga komoditas, baik minyak, batu bara, maupun sawit. Itu tentu memukul kinerja penerimaan pajak yang selama ini masih mengandalkan kenaikan harga komoditas. Kedua, tahun politik yang berpengaruh kepada penundaan keputusan bisnis dan investasi. Hal itu tampak pada turunnya kinerja ekspor dan impor. Termasuk lesunya kinerja perekonomian pada kuartal pertama 2019.  Bisa dimaklumi karena tensi politik yang tinggi kerap menciptakan ketidakpastian, sebuah pantangan bagi dunia usaha. Beberapa pilar  yang ditargetkan meleset dari rencana awal. Terutama revisi UU Perpajakan yang banyak ditunggu untuk memperbaiki sistem perpajakan, menciptakan kepastian, menyederhanakan administrasi, dan lebih menjamin kompetisi yang sehat. Para pelaku usaha kompak mengusulkan penurunan tarif dan meminta berbagai insentif pajak tambahan, termasuk penurunan tarif pajak UMKM yang kini bertarif 0,5 persen yang  saat bersamaan, pemerintah sudah merancang skema insentif yang diharapkan cukup menarik dan efektif bagi dunia usaha, pengurang pajak jumbo bagi wajib pajak yang berinvestasi di pendidikan vokasi serta penelitian dan pengembangan.
              Akan menjadi  kontradiksi antara kebutuhan penerimaan yang semakin tinggi dan tuntutan insentif ini menjadi bahan perenungan . Untuk menjawabnya, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah strategis dan taktis sebagai berikut. Pertama, segera memanfaatkan momentum berakhirnya hajatan politik nasional dengan merumuskan langkah dan program strategis. Terutama sinyal tindak lanjut terhadap data dan informasi perpajakan yang telah dimiliki. Hal itu bisa mencakup imbauan, pemeriksaan, hingga penyidikan yang akan menciptakan efek jera.
Menyusun  perubahan UU Perpajakan yang holistik sehingga menjadi sinyal yang baik bagi dunia usaha. Perubahan UU juga bisa dimanfaatkan sebagai forum diskursif yang menggali banyak solusi para pemangku kepentingan bagi perbaikan sistem perpajakan. Tentu saja, pemerintah harus berkomunikasi intensif dengan DPR agar proses politik sejalan dengan kemendesakan. Hal-hal yang sensitive dan rawan menggerus penerimaan seperti penurunan tarif segera dikaji dan diformulasikan skema perubahannya agar menjadi sinyal bagus bagi investor, menata skema insentif yang telah diberikan. Tak dimungkiri dalam ekonomi global yang melambat dan ekonomi domestik yang stagnan, stimulus dan insentif sangat dinantikan para pelaku usaha. Namun, pemerintah tak boleh gegabah dan begitu saja mengabulkan tuntutan tanpa kalkulasi yang matang. Pengorbanan pada masa kini mesti diimbangi dengan ekspektasi terciptanya efek pengganda dan potensi penerimaan di masa mendatang. Tak ada yang suka membayar pajak, tetapi kita tak bisa hidup tanpa pajak. Penyadaran memang membutuhkan waktu yang tak pendek sehingga memerlukan daya juang tinggi. Hal itu diimbuhi banyaknya penumpang gelap yang selama ini merasa kebal hukum.
              Semoga Pemerintah dan anggota DPR yang baru bersedia sejak dini memikirkan kesinambungan pembiayaan negara demi keberlangsungan penyelenggaraan negara. Kita mesti pandai menjaga timbangan agar tetap seimbang, antara kebutuhan penerimaan dan insentif, antara penegakan hukum dan pelayanan,  Sungguh tak mudah. Tetapi, kita tetap mendukung dan  harus mengupayakannya.
Oleh : Bambang Pujianto
Umsida

Komentar

Tampilkan

Terkini